BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) :
Pengertian UMKM
a.
Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau
badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini. Usaha
Mikro memiliki kriteria asset maksimal sebesar 50 juta dan omzet sebesar 300
juta.
b.
Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar
yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini. Usaha Kecil memiliki kriteria asset sebesar 50 juta sampai dengan 500 juta dan omzet sebesar 300
juta sampai dengan 2,5 miliar.
c.
Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan
atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan
jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini. Usaha Menengah memiliki kriteria asset sebesar 500 juta
sampai dengan 10 miliar dan omzet sebesar 2,5 miliar sampai dengan 50 miliar.
Terdapat
beberapa acuan definisi yang digunakan berbagai instansi di Indonesia, yaitu:
·
UU No.9 tahun 1995 tentang
mengatur kriteria usaha kecil berdasarkan nilai aset tetap (di luar tanah dan
bangunan) paling besar Rp 200 juta dengan omzet per tahun maksimal Rp 1 milyar.
Sementara itu berdasarkan Inpres No.10 tahun 1999 tentang usaha menengah,
batasan aset tetap (di luar tanah dan bangunan) untuk usaha menengah adalah Rp
200 juta hingga Rp 10 milyar.
·
Kementerian Koperasi
dan UKM menggolongkan suatu usaha sebagai usaha kecil jika
memiliki omset kurang dari Rp 1 milyar per tahun. Untuk usaha menengah batasannya
adalah usaha yang memiliki omset antara Rp 1 sampai dengan Rp 50 milyar per
tahun.
·
Departemen
Perindustrian dan Perdagangan menetapkan bahwa industri kecil dan
menengah adalah industri yang memiliki nilai investasi sampai dengan Rp 5 milyar.
Sementara itu usaha kecil di bidang perdagangan dan industri juga dikategorikan
sebagai usaha yang memiliki aset tetap kurang dari Rp 200 juta dan omzet per
tahun kurang dari Rp 1 milyar (sesuai UU no.9 tahun 1995)
·
Bank Indonesia menggolongkan
usaha kecil dengan merujuk pada UU no 9/1995, sedangkan untuk usaha menengah BI
menentukan sendiri kriteria aset tetapnya dengan besaran yang dibedakan antara
industri manufaktur (Rp 200 juta s/d Rp 5 miliar) dan non manufaktur (Rp 200 –
60 juta).
·
Badan Pusat
Statistik (BPS) menggolongkan suatu usaha berdasarkan jumlah tenaga
kerja. Usaha mikro adalah usaha yang memiliki pekerja 1-5 orang. Usaha kecil adalah usaha yang memiliki
pekerja 6-19 orang. Usaha menengah memiliki pekerja 20-99 orang dan usaha besar
memiliki pekerja sekurang-kurangnya 100 orang.
Menurut Sri Winarni (2006)
Pada umumnya, usaha kecil mempunyai ciri antara lain sebagai berikut
(1) Biasanya berbentuk usaha perorangan dan belum berbadan hukum
perusahaan, (2) Aspek legalitas usaha lemah, (3) Struktur organisasi bersifat
sederhana dengan pembagian kerja yang tidak baku, (4) Kebanyakan tidak
mempunyai laporan keuangan dan tidak melakukan pemisahan antara kekayaan
pribadi dengan kekayaan perusahaan, (5) Kualitas manajemen rendah dan jarang
yang memiliki rencana usaha, (6) Sumber utama modal usaha adalah modal pribadi,
(7) Sumber Daya Manusia (SDM) terbatas, (7) Pemilik memiliki ikatan batin
yang kuat dengan perusahaan, sehingga seluruh kewajiban perusahaan juga menjadi
kewajiban pemilik.
Usaha Mikro, Kecil,dan Menengah (UMKM) telah menjadi
tulang punggung perekonomian Indonesia. Sejarah membuktikan, ketika terjadi
krisis moneter di tahun 1998 banyak usaha besar yang tumbang karena dihantam
krisis tersebut, namun UMKM tetap eksis dan menopang kelanjutan perekonomian
Indonesia. Tercatat, 96% UMKM di Indonesia tetap bertahan dari goncangan
krisis. Hal yang sama juga terjadi di tahun 2008-2009. Ketika krisis datang dan
mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, UMKM lagi-lagi menjadi juru
selamat ekonomi Indonesia.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juga berperan dalam
memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada
masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan
pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam
mewujudkan stabilitas nasional. Berdasarkan data BPS (2003), populasi usaha
kecil dan menengah (UKM) jumlahnya mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 % dari
keseluruhan pelaku bisnis di tanah air. UKM memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, yaitu sebesar 99,6 persen.
Sementara itu, kontribusi UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
sebesar 56,7 persen. Angka tersebut
terus meningkat seiring dengan pertumbuhan UMKM dari tahun ke tahun.
Meski demikian, UMKM juga masih memiliki beberapa
kendala antara lain dalam hal produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya
manusia, desain dan teknologi, permodalan, serta iklim usaha. Dalam pertemuan
APEC 2013, Menkop dan UMKM Syarif Hasan mengungkapkan 3 kendala yang dihadapi
oleh pelaku UMKM yakni permodalan, teknologi, dan pemasaran. Agar kendala
tersebut tidak berlanjut, perlu dilakukan upaya pemberdayaan UMKM.
Dalam rangka pemberdayaan UMKM, keterlibatan stakeholder
sangat menentukan keberhasilannya.
Sejauh ini keterlibatan stakeholder UMKM antara lain terdiri dari
instansi pemerintah, lembaga pendidikan, LSM, koperasi, perbankan dan asosiasi
usaha. Menurut Karsidi dan Irianto (2005) keterlibatan yang ada masih bersikap
sendiri-sendiri dan kurang intergratif antara stakeholder satu dengan
yang lain.
Sejatinya
pemberdayaan UMKM merupakan gerakan sinergis antar berbagai pihak. Namun
pemerintah tetap memegang peranan terbesar dalam upaya pemberdayaan tersebut.
Keterlibatan pemerintah dalam
memberdayakan UMKM telah diatur jelas dalam UU No. 20 tahun 2008
tentang UMKM. Undang-Undang ini memuat tentang ketentuan umum, asas,
prinsip dan tujuan pemberdayaan,
kriteria, penumbuhan iklim usaha, pengembangan usaha, pembiayaan
dan penjaminan, kemitraan, dan koordinasi pemberdayaan, sanksi administratif
dan ketentuan pidana.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
telah mampu membuktikan eksistensinya dalam perekonomian di Indonesia. Ketika
badai krisis moneter melanda Indonesia di tahun 1998, banyak investor dan
pengusaha besar yang mengalihkan modalnya ke negara-negara lain, sehingga
perekonomian Indonesia dikala itu semakin terpuruk. Usaha kecil dan sektor riil
mampu bertahan dan menopang roda perekonomian bangsa Indonesia. Undang-undang
yang mengatur tentang seluk-beluk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2008. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa sebuah perusahaan yang
digolongkan sebagai UMKM adalah perusahaan kecil yang dimiliki dan dikelola
oleh seseorang atau dimiliki oleh sekelompok kecil orang dengan jumlah kekayaan
dan pendapatan tertentu. Rinciannya sebagai berikut:
- Usaha produktif yang kekayaannya sampai 50 juta rupiah dengan pendapatan sampai 300 juta rupiah per tahun digolongkan sebagai Usaha Mikro.
- Usaha produktif yang nilai kekayaan usahanya antara 50 juta hingga 500 juta rupiah dengan total penghasilan sekitar 300 juta hingga 2,5 milyar rupiah per tahun dikategorikan sebagai Usaha Kecil.
- Sedangkan Usaha Menengah merupakan usaha produktif yang memiliki kekayaan (modal) 500 juta hingga 10 milyar rupiah dengan jumlah pendapatan pertahun berkisar 2,5 – 50 milyar rupiah.
Menurut Bank Dunia, UMKM dapat
dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu Usaha Mikro (jumlah karyawan 10 orang),
Usaha Kecil (jumlah karyawan 30 orang) dan Usaha Menengah/Medium (jumlah
karyawan hingga 300 orang). Dalam perspektif usaha, UMKM diklasifikasikan dalam
empat kelompok, yaitu:
- UKM sektor informal atau dikenal dengan istilah Livelihood Activities, contohnya pedagang kaki lima dan warteg.
- UKM Mikro atau Micro Enterprise adalah para UKM dengan kemampuan sifat pengerajin namun tidak memiliki jiwa kewirausahaan dalam mengembangkan usahanya.
- Usaha Kecil Dinamis (Small Dynamic Enterprise) adalah kelompok UKM yang mampu berwirausaha dengan menjalin kerjasama (menerima pekerjaan subkontrak) dan ekspor.
- Fast Moving Enterprise adalah UKM-UKM yang mempunyai kewirausahaan yang cakap dan telah siap untuk bertranformasi menjadi usaha besar.
Secara umum, usaha kecil memiliki
ciri-ciri: manajemen berdiri sendiri, modal disediakan sendiri, daerah
pemasarannya lokal, aset perusahaannya kecil, dan jumlah karyawan yang
dipekerjakan terbatas. Asas pelaksanaan UMKM adalah kebersamaan, ekonomi
yang demokratis, kemandirian, keseimbangan kemajuan, berkelanjutan, efesiensi
keadilan, serta kesatuan ekonomi nasional. UMKM mendapat perhatian dan
keistimewaan yang diamanatkan oleh undang-undang, antara lain: bantuan kredit usaha dengan
bunga rendah, kemudahan persyaratan izin usaha, bantuan pengembangan usaha dari
lembaga pemerintah, beberapa kemudahan lainnya.
B.Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
perkembangan dan pemberdayaan UMKM di Indonesia?
2. Apa hambatan
dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia?
3. Bagaimana
peran pemerintah dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia?
4. Apa
Strategi Pemberdayaan UMKM menghadapi Pasar Bebas ASEAN?
C.Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
perkembangan dan pemberdayaan UMKM di Indonesia.
2. Mengetahui
hambatan dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia
3. Mengetahui
peran pemerintah dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia
4. Mengetahui
Strategi Pemberdayaan UMKM menghadapi Pasar Bebas ASEAN
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan dan Pemberdayaan UMKM di Indonesia
Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM) yang mengalami peningkatan yang sangat menggembirakan
dikarenakan berhasil menyumbangkan 57% dari PDB (di dukung oleh data BPS tahun
2006 - 2010) dimana UMKM meningkat bukan hanya dari segi kuantitas melainkan
tenaga kerja, modal serta asset mereka. UMKM juga dikatakan usaha ekonomi
produktif yang cukup kuat, sekalipun terjadi gejolak atau krisis mereka tidak
terkena dampak yang begitu menyedihkan. Hal tersebut dikarena prinsip
kemandirian yang dimiliki yang artinya mereka memiliki modal sendiri dan tidak
terlalu bergantung pada lembaga lain sehingga membuat mereka kokoh hingga saat
ini dan menjadi katup perekonomian negara.
Pencapaian
yang sangat menggembirakn bagi UMKM kita tidak didapat hanya dengan sekali
mengedipkan mata. Banyak tantangan yang mereka harus lalui dan banyak masalah
yang harus mereka selesaikan baik secara modal, tenaga kerja, kegiatan produksi
dan hal lainnya. Sehingga apabila terdapat UMKM yang tidak siap dan tak mampu
menghindari atau mengatasi gejolak yang datang maka tidak mustahil akan ada
juga UMKM yang kolaps.
Berdasarkan
masalah-maslah yang dialami oleh koperasi dan UMKM di Indonesia penulis
menganalisis dan memiliki strategi penyelesaian masalah-masalah tersebut yang
mereka alami agar tak terulang kembali dan terus meningkat baik secara
kuantitas maupun kualitas. Strategi yang penulis sarankan, baik bagi pemerintah
khususnya Menteri Koperasi dan UMKM, anggota serta pengurus koperasi di seluruh
Indonesia dan para owner UMKM di seluruh Indonesia untuk agar memiliki komitmen
yang kuat untuk meningkatkan perekonomian Indonesia melalui cara-cara berikut,
diantaranya:
1.
Penyediaan modal dan akses kepada sumber dan lembaga keuangan. Ditambah dengan
pemberian kemudahan (bukan berbelit-belit) dalam mengurus administrasi untuk
mendapatkan modal dari lembaga keuangan. Dapat juga melalui pengefektifan dan
pengefisienan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah disediakan oleh
pemerintah sebelumnya.
2.
Meningkatkan kualitas dan kapasitas kompetensi SDM. Melalui pendidikan dan
pelatihan baik dilakukan oleh pemerintah maupun oleh koperasi atau UMKM itu
sendiri. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas SDM, mereka perlu
“dibangunkan” kembali mengapa mereka berada di koperasi, orang yang masih
konsisten berusaha mengembalikan mindset orang yang tidak aktif agar
mereka mau berorganisasi khususnya koperasi berdasarkan asas dan
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
3.
Meningkatkan kemampuan pemasaran UMKM. Pemberian pendidikan mengenai pemasaran
atau dengan cara membuka/merekrut tenaga profesional yang ahli dalam hal
pemasaran.
4.
Meningkatkan akses informasi usaha bagi UMKM.
5. Menjalin
kemitraan yang saling menguntungkan antar pelaku usaha (UMKM, Usaha Besar dan
BUMN).
6.
Melakukan/membuat program goes to goal, yaitu langsung ke tujuan atau sasaran.
Dilakukan dengan cara memberikan bantuan baik modal, konsep, dan hal-hal yang
dibutuhkan oleh koperasi dan UMKM atau dengan membidik para individu yang
memiliki jiwa enterpreneur dengan tetap adanya prinsip prudensial dan adanya
manager investasi (meminjam istilah perbankan syariah dimana nasabah yang telah
diberi pinjaman tetap terus mendapat pengawasn atau layanan prima dalam
pengolahan dana yang ). Selama ini banyak orang ahli dalam bidang UMKM
mengadakan seminar-seminar demi meningkatnya kualitas dan kuantitas dari UMKM,
namun “efek” yang ada dari seminar tersebut tidaklah lama, hanya bertahan
sebentar, untuk itu lebih baik mereka mencari langsung terjun ke lapangan untuk
mencari orang-orang yang benar-benar serius di UMKMK dan jika dilihat potensi
usahanya bagus segera dipinjami dana dalam rangka mengembangkan usahanya.
Sejatinya perkembangan UMKM di Indonesia cukup baik,
jika ditinjau dari segi jumlah unit usaha maupun jumlah tenaga kerja yang
diserap oleh UMKM dalam rangka mengurangi pengangguran. Data BPS (1994)
menunjukkan jumlah pengusaha kecil telah mencapai 34,316 juta orang yang
meliputi 15,635 juta pengusaha kecil mandiri (tanpa menggunakan tenaga kerja
lain), 18,227 juta orang pengusaha kecil yang menggunakan tenaga kerja anggota
keluarga sendiri serta 54 ribu orang pengusaha kecil yang memiliki tenaga kerja
tetap.
Berdasarkan data BPS (2003), populasi usaha kecil dan
menengah (UKM) jumlahnya mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 persen dari
keseluruhan pelaku bisnis di tanah air. UKM memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, yaitu sebesar 99,6 persen.
Sementara itu, kontribusi UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,7
persen.
Angka tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun.
berikut akan disajikan tabel mengenai perkembangan UMKM dari tahun 2006-2010.
Tahun
|
Jumlah UMKM
|
Jumlah Tenaga Kerja
|
2006
|
49.021.803
unit
|
87.909.598
orang
|
2007
|
50.145.800
unit
|
90.491.930
orang
|
2008
|
51.409.612
unit
|
94.024.278
orang
|
2009
|
52.764.603
unit
|
96.211.332
orang
|
2010
|
53.823.732
unit
|
99.401.775
orang
|
(sumber: Kemenkop dan UMKM)
Dari tabel diatas dapat kita ambil kesimpulan jika
pada periode 2006-2010 merupakan masa pertumbuhan yang bagus bagi UMKM. Selama
periode tersebut UMKM bertambah sebanyak 4.801.929
unit atau sebesar 9,80%. Penyerapan tenaga kerja oleh UMKM juga mengalami
peningkatan yang cukup pesat. Selama 5 tahun, tercatat ada peningkatan jumlah
tenaga kerja UMKM sebanyak 11.492.177 atau 13,07%.
Potensi lainnya dapat dilihat dan kontribusi UMKM
terhadap pembentukan PDB menurut harga berlaku, yang sesuai data BPS tahun 2008
mencapai Rp.2.609,4 trilyun. Dengan jumlah tersebut berarti bahwa 55,56% dan
PDB nasional yang totalnya mencapai Rp.4.696,5 trilyun bersandar pada
produktivitas UMKM. Jumlah tersebut terus meningkat. Data tahun 2009
menyebutkan bahwa UMKM berkontribusi sebesar 56,53% terhadap pembentukan PDB
menurut harga berlaku. Angka tersebut menjadi 57,12% di tahun 2010.
Berikut akan disajikan tabel kontribusi UMKM terhadap
pembentukan PDB atas dasar harga berlaku periode 2006-2010.
Tahun
|
Kontribusi UMKM terhadap
pembentukan PDB atas harga berlaku
|
Jumlah kontribusi UMKM terhadap
PDB atas harga berlaku
|
2006
|
56,23%
|
1.783,4
trilyun
|
2007
|
56,28%
|
2.107,8
trilyun
|
2008
|
55,56%
|
2.609,4
trilyun
|
2009
|
56,53%
|
2.993,1
trilyun
|
2010
|
57,12%
|
3.466,3
trilyun
|
(sumber: Kemenkop dan UMKM)
Di sisi lain, kontribusi UMKM dalam ekspor non migas
mencapai sekitar Rp.183 trilyun. Setidaknya UMKM telah menjadi penguat ekspor
non migas hingga 20,17% dan total ekspor non migas sebesar Rp.910,9 trilyun.
Angka tersebut menurun ketika di tahun 2009 jumlahnya menjadi 162,2 trilyun,
namun meningkat lagi menjadi 175,8 trilyun di tahun berikutnya. Walaupun angkanya
fluktuaktif, peran UMKM dalam ekspor ini merupakan bukti kemampuan dan daya
saing produk UMKM di pasar persaingan bebas, sekaligus merupakan potensi yang
perlu terus dipelihara untuk menjaga kesinambungan perdagangan internasional.
Sedangkan dilihat dan nilai investasi (pembentukan
modal tetap bruto) UMKM menurut harga berlaku tahun 2008 mencapai Rp.640
trilyun atau sebesar 52,89% dan total nilai investasi nasional yang mencapai
sebesar Rp.1.210 trilyun. Dengan tingkat investasi tersebut, dibandingkan dengan
usaha besar, maka pengembangan UMKM hanya membutuhkan tingkat investasi yang
lebih rendah, dengan konsekuensi akan memberikan kontribusi yang besar bagi
pembangunan ekonomi nasional
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
merupakan bagian integral dalam pembangunan nasional.yang bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam pembangunan bidang ekonomi
secara eksplisit UUD 1945 menekankan implementasi azas kekeluargaan (pasal 33
ayat 1) dan penyelenggaraan perekonomian nasional yang berdasar atas demokrasi
ekonomi (pasal 33 ayat 4).
Dalam hal ini pemberdayaan UMKM, berkaitan langsung
dengan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat
Indonesia (pro poor). Selain itu, potensi dan peran strategisnya telah
terbukti menjadi penopang kekuatan dan pertumbuhan ekonomi nasional (pro
growth). Keberadaan UMKM yang dominan sebagai pelaku ekonomi nasional juga
merupakan subyek vital dalam pembangunan, khususnya dalam rangka perluasan
kesempatan berusaha bagi wirausaha baru dan penyerapan tenaga kerja serta
menekan angka pengangguran (pro job).
Berdasarkan data diatas, sangat terlihat bahwa UMKM
merupakan kekuatan dalam pelaksanaan ekonomi kerakyatan. Oleh karena itu,
keberadaan UMKM harus dilindungi dan diberdayakan pemerintah. Dalam UU
No.20/2008 tentang UMKM, didefinisikan bahwa pemberdayaan adalah upaya yang
dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan Masyarakat secara
sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap UMKM sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi usaha
yang tangguh dan mandiri.
Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah
dan Pemerintah Daerah untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
secara sinergis melalui penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan
dukungan berusaha yang seluas-luasnya.
Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah melalui pemberian fasilitas bimbingan pendampingan dan
bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan dan daya saing
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pemberdayaan UMKM diselenggarakan sebagai
kesatuan dan pembangunan perekonomian nasional untuk mewujudkan kemakmuran
rakyat.
Dengan dilandasi dengan asas kekeluargaan, upaya
pemberdayaan UMKM merupakan bagian dari perekonomian nasional yang
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan kemajuan, dan
kesatuan ekonomi nasional untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Asas Kebersamaan adalah asas yang mendorong peran
seluruh UMKM dan Dunia Usaha secara bersama-sama dalam kegiatannya untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Asas Efisiensi adalah asas yang mendasari
pelaksanaan pemberdayaan UMKM dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam
usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing.
Asas Berkelanjutan adalah asas yang secara terencana
mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui pemberdayaan UMKM yang
dilakukan secara berkesinambungan sehingga terbentuk perekonomian yang tangguh
dan mandiri. Asas Berwawasan Lingkungan adalah asas pemberdayaan UMKM yang
dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan
pemeliharaan lingkungan hidup. Asas Kemandirian adalah usaha pemberdayaan UMKM
yang dilakukan dengan tetap menjaga dan mengedepankan potensi, kemampuan, dan
kemandirian UMKM
Prinsip Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah (UU No. 20 tahun 2008) adalah:
a. penumbuhan
kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
untuk berkarya dengan prakarsa sendiri;
b. perwujudan
kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan;
c. pengembangan
usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
d. peningkatan
daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan
e. penyelenggaraan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.
Sesuai dengan UU No.20 tahun 2008, pemberdayaan UMKM
bertujuan:
a. mewujudkan
struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan;
b. menumbuhkan
dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang
tangguh dan mandiri; dan
c. meningkatkan
peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan
lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan
rakyat dari kemiskinan.
Sijabat, peneliti pada Deputi Bidang
Pengkajian Sumberdaya UMKM dalam Sudrajat mengatakan upaya pemberdayaan UMKM
bukanlah suatu komitmen kebijakan jangka pendek, tetapi merupakan proses
politik jangka panjang. Dalam upaya mendorong percepatan proses pemberdayaan
UMKM selama era reformasi juga terlihat sudah cukup banyak isu politik yang
seharusnya dapat mempercepat (akselerasi) proses pemberdayaan koperasi dan UKM.
Disinilah mungkin letak pokok permasalahannya. Kalangan UMKM serta para
pemangku kepentingan (stakeholders) dituntut berkemampuan memberikan
keyakinan kepada para pengambil keputusan agar lebih berpihak kepada
pembangunan kelompok masyarakat banyak tersebut.
Belum efektifnya isu-isu politik yang
berkembang selama era reformasi mengindikasikan bahwa proses komunikasi politik
sendiri belum berjalan baik. Sesungguhnya komunikasi politik yang efektif
diharapkan dapat dibangun dan ditumbuhkan oleh para eksponen yang bergerak
dalam pemberdayaan UMKM. Dengan kondisi yang masih seperti sekarang jangan
diharapkan akan ada tenggang rasa dari para pengusaha besar kepada pengusaha
kecil. Belajar dari pengalaman masa lalu untuk bermitra antara pengusaha kecil
dan pengusaha besar harus dipaksa dan diikat dengan peraturan formal, begitupun
belum dapat berjalan dengan efektif.
Lebih lanjut Sijabat mengatakan
pemberdayaan UMKM tidak terlepas dari konsepsi dasar pembangunan yang menjadi
medium penumbuhan UMKM. Merancang konsepsi dasar pemberdyaan UMKM adalah
membangun sistem yang mampu mengeliminir semua masalah yang menyangkut
keberhasilan usaha UMKM. Salah satu aspek yang sangat menentukan keberhasilan
UMKM adalah iklim usaha. Aspek itu sendiri terkait erat dengan kemampuan sistem
yang di bangun, sedangkan sistem yang dibangun terkait dengan banyak pelaku
(aktor) dan banyak variable (faktor) yang berpengaruh nyata serta bersifat
jangka panjang (multies years). Oleh karena sifatnya tersebut maka
faktor-faktor ini sulit diukur keberhasilannya sebagai buah karya suatu
instansi atau suatu rezim pemerintahan. Oleh sebab itu kondusifitas dari setiap
faktor tersebut harus ditumbuhkan dan terus diperbaiki. Untuk mengetahui
kondisi dari setiap faktor dan para pelaku yang berperan didalamnya perlu
dilakukan evaluasi setiap waktu, setiap tempat dan setiap sektor kegiatan usaha
UMKM.
Menurut Suarja (2007) dalam Sudrajat
mengungkapkan pemberdayaan Koperasi dan
UMKM dilakukan melalui:
a. Revitalisasi peran koperasi dan perkuatan
posisi UMKM dalam sistem perkonomian nasional
b. Revitalisasi koperasi dan perkuatan UMKM
dilakukan dengan memperbaiki akses UMKM terhadap permodalan, tekologi,
informasi dan pasar serta memperbaiki iklim usaha;
c. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya
pembangunan
d. Mengembangkan potensi sumberdaya lokal.
B.Hambatan
dalam Pemberdayaan UMKM di Indonesia
Meskipun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah
menunjukkan peranannya dalam perekonomian nasional, namun masih menghadapi
berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Sebagai usaha yang ruang lingkup usahanya dan anggotanya adalah (umumnya)
rakyat kecil dengan modal terbatas dan kemampuan manajerial yang juga terbatas,
UMKM sangat rentan terhadap masalah-masalah perekonomian.
Perlu digaris bawahi bahwa lebih dan 51 juta usaha
yang ada, atau lebih dan 99,9% pelaku usaha adalah Usaha Mikro dan Kecil,
dengan skala usaha yang sulit berkembang karena tidak mencapai skala usaha yang
ekonomis. Dengan badan usaha perorangan, kebanyakan usaha dikelola secara
tertutup, dengan Legalitas usaha dan administrasi kelembagaan yang sangat tidak
memadai. Upaya pemberdayaan UMKM makin rumit karena jumlah dan jangkauan UMKM
demikian banyak dan luas, terlebih bagi daerah tertinggal, terisolir dan
perbatasan.
Kuncoro (2000) mengungkapkan ada beberapa kendala yang
dialami oleh UMKM dalam menjalankan usahanya. Kendala tersebut berupa tingkat
kemampuan, ketrampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan,
pemasaran dan keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumberdaya manusia
ini mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik.
Secara lebih spesifik, masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil adalah:
Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar.
Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh
jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi
dan manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha
kerjasama antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim
usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam,
pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan
serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.
Kuncoro juga mengungkapkan bahwa tantangan yang
dihadapi pengusaha kecil dapat dibagi dalam dua kategori: Pertama, bagi PK
dengan omset kurang dari Rp 50 juta umumnya tantangan yang dihadapi adalah
bagaimana menjaga kelangsungan hidup usahanya. Bagi mereka, umumnya asal dapat
berjualan dengan “aman” sudah cukup. Mereka umumnya tidak membutuhkan modal
yang besar untuk ekspansi produksi; biasanya modal yang diperlukan sekedar
membantu kelancaran cashflow saja. Bisa dipahami bila kredit dari
BPR-BPR, BKK, TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-KUD) amat membantu modal
kerja mereka.
Kedua, bagi PK dengan omset antara Rp 50 juta hingga
Rp 1 milyar, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai
memikirkan untuk melakukan ekspansi usaha lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan
Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil UGM, urutan prioritas permasalahan yang
dihadapi oleh PK jenis ini adalah (Kuncoro, 1997): (1) Masalah belum
dipunyainya sistem administrasi keuangan dan manajemen yang baik karena belum
dipisahkannya kepemilikan dan pengelolaan perusahaan; (2) Masalah bagaimana
menyusun proposal dan membuat studi kelayakan untuk memperoleh pinjaman baik
dari bank maupun modal ventura karena kebanyakan PK mengeluh berbelitnya
prosedur mendapatkan kredit, agunan tidak memenuhi syarat, dan tingkat bunga
dinilai terlalu tinggi; (3) Masalah menyusun perencanaan bisnis karena
persaingan dalam merebut pasar semakin ketat; (4) Masalah akses terhadap
teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan/grup bisnis tertentu dan
selera konsumen cepat berubah; (5) Masalah memperoleh bahan baku terutama
karena adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, bahan baku
berkulaitas rendah, dan tingginya harga bahan baku; (6) Masalah perbaikan
kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang sudah menggarap pasar ekspor
karena selera konsumen berubah cepat, pasar dikuasai perusahaan tertentu, dan
banyak barang pengganti; (7) Masalah tenaga kerja karena sulit mendapatkan
tenaga kerja yang terampil.
Hasil penelitian Schiffer-Weder (2001) dalam Rizali
secara keseluruhan juga memperkuat persepsi bahwa UKM menghadapi hambatan
berusaha yang lebih besar daripada UB. Bila dilihat dari persentasi jawaban
responden, secara umum hambatan utama dalam berusaha adalah sumber pembiayaan.
Sekitar 39% responden UKM menyatakan pembiayaan
sebagai hambatan utama dalam berusaha, sedangkan responden Usaha Besar (UB)
yang menyatakan pembiayaan sebagai sumber hambatan utama usaha sekitar 28%. Ini
mengindikasikan bahwa UKM memang lebih sulit memperoleh kredit dari sektor
keuangan formal dibandingkan dengan UB.
Berbeda dengan UKM, pengelola UB memandang
ketidakstabilan kebijakan pemerintah sebagai hambatan utama dalam berusaha,
demikianlah pendapat 30% responden dari UB.
Tiga faktor selanjutnya yang menghambat dunia usaha
adalah inflasi (35% responden), ketidakstabilan kebijakan (34%), dan pajak dan
peraturan pemerintah (33,5%). Yang menarik sekitar 37% UKM menganggap aspek
perpajakan dan peraturan pemerintah sebagai hambatan utama berusaha
dibandingkan dengan hanya 21% UB.
Hal ini mengindikasikan bahwa UB lebih mudah
menghindari pajak, misalnya, dengan mengalihkan dan melaporkan keuntungannya ke
daerah yang tingkat pajaknya lebih rendah. Responden memandang nilai tukar
(28%), korupsi (28%), kejahatan jalanan (27%), dan kejahatan teroganisir
(24,5%) sebagai faktor lain yang menghambat kegiatan usaha.
Bila dilihat tingkat rata-rata intensitas hambatan
yang dirasakan, pajak dan peraturan pemerintah (skor 2,95 dalam skala 4)
dianggap sebagai hambatan yang paling umum dihadapi oleh UKM. Pembiayaan (skor
2,87), inflasi (skor ? 2,8), dan ketidakpastian kebijakan (skor ? 2,8) adalah
tiga faktor lain yang punya intensitas gangguan tinggi bagi UKM.
Sedangkan UB melihat ketidaksatabilan kebijakan (skor
2,7) sebagai masalah utama. Masalah selanjutnya adalah pajak dan peraturan
(skor 2,6), dan inflasi (skor 2,6). Sedangkan pembiayaan (skor 2,6) berada pada
posisi ke empat.
Baik secara persentase persepsi responden dan
intensitas, UKM ternyata memang menghadapi masalah lebih besar daripada UB.
Menarik diperhatikan bahwa dari persentase persepsi responden dan skor
intensitas, UB melihat ketidakpastian kebijakan sebagai hambatan usaha utama.
Ini menunjukkan bahwa usaha besar memang menjadi
target utama kebijakan pemerintah, sedangkan UKM terabaikan. Akibatnya, semakin
tidak pasti kebijakan pemerintah semakin besar dampaknya pada UB. Sedangkan
para wirausahawan UKM, karena terabaikan dari kebijakan, sudah terbiasa dengan
ketidakpastian dan menjadi lebih fleksibel menghadapi ketidakpastian dunia
usaha.
Badan Pusat Statistik (2003) di dalam Sri Winarni
(2006) mengidentifikasikan permasalahan umum yang dihadapi oleh
UMKM adalah (1) Kurang permodalan, (2) Kesulitan dalam pemasaran, (3)
Persaingan usaha ketat, (4) Kesulitan bahan baku, (5) Kurang teknis produksi
dan keahlian, (6) Keterampilan manajerial kurang, (7) Kurang pengetahuan
manajemen keuangan, dan (8) Iklim usaha yang kurang kondusif (perijinan,
aturan/perundangan)
Hasil penelitian kerjasama Kementerian Negara KUKM
dengan BPS (2003) di dalam Sri Winarni (2006) menginformasikan bahwa UKM yang
mengalami kesulitan usaha 72,47 %, sisanya 27,53 % tidak ada
masalah. Dari 72,47 % yang mengalami kesulitan usaha tersebut,
diidentifikasi kesulitan yang muncul adalah (1) Permodalan 51,09 %, (2)
Pemasaran 34,72 %, (3) Bahan baku 8,59 %, (4) Ketenagakerjaan 1,09 %, (5)
Distribusi transportasi 0,22% dan (6) Lainnya 3,93 %.
Persentase kesulitan yang dominan dihadapi UMKM
terutama meliputi kesulitan permodalan (51.09%). Lebih
lanjut disebutkan bahwa dalam mengatasi kesulitan permodalannya diketahui
sebanyak 17,50 % UKM menambah modalnya dengan meminjam ke bank, sisanya 82,50 %
tidak melakukan pinjaman ke bank tetapi ke lembaga Non bank seperti Koperasi
Simpan Pinjam (KSP), perorangan, keluarga, modal ventura, lainnya.
Sedangkan permasalahan yang dihadapi UMKM dalam
mendapatkan kredit modal usaha antara lain adalah (1) Prosedur pengajuan
yang sulit 30,30 %, (2) Tidak berminat 25,34 %, (3) Pelaku
UMKM Tidak punya agunan 19,28 %, (4) UMKM yang tidak tahu prosedur 14,33
%, (5) Suku bunga tinggi 8,82 %, (6) Proposal ditolak (1,93
%).
Penerapan Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013
diyakini juga akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan UMKM. Aturan
tersebut memuat mengenai pajak penghasilan sebesar 1% bagi UMKM yang memiliki
peredaran bruto dibawah 4,8 milyar dalam 1 tahun.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hambatan
yang dialami oleh UMKM. Hambatan tersebut berupa:
a. Kurangnya
modal yang dimiliki oleh UMKM
b. Akses
terhadap modal yang sulit dijangkau
c. Pengelolaan
yang kurang profesional
d. Kesulitan
dalam persaingan usaha yang pesat
e. Rendahnya
tingkat inovasi pelaku UMKM
f. Kebijakan
pemerintah yang kurang pro UMKM
g. Bahan baku
sukar diperoleh
h. Pasar yang
cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit
C. Peran
Pemerintah dalam Pemberdayaan UMKM di Indonesia.
Semenjak Indonesia merdeka, pemerintah berusaha
mencetak pengusaha-pengusaha baru untuk merobohkan sistem ekonomi kolonial dan
diganti dengan ekonomi kerakyatan. Beberapa program disusun oleh pemerintah
Orde Lama. Di masa demokrasi liberal, dikenal Program Benteng (Kabinet Natsir),
yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional
agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang
tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta
memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat
berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal,
karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing
dengan pengusaha non-pribumi.
Gagal dengan Program Benteng, pemerintah mengenalkan
program baru yakni sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang
diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara
pengusaha cina (baba) dan pengusaha pribumi (ali). Pengusaha non-pribumi
diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah
menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini
tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman,
sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
Di masa Orde Baru, pengembangan UMKM terus berlanjut.
Pemerintah Orba membuat UU No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil guna
memberdayakan usaha kecil. UU ini berisi XI bab dan 38 pasal dan mengatur
pelaksanan permberdayaan UMKM di Indonesia.
Sehubungan dengan perkembangan lingkungan perekonomian
yang semakin dinamis dan global, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha
Kecil, yang hanya mengatur Usaha Kecil perlu diganti, agar Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah di Indonesia dapat memperoleh jaminan kepastian dan keadilan
usaha. UU tersebut diganti dengan UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM. Dalam UU
tersebut, disebutkan peran pemerintah untuk memberdayakan UMKM.
Terkait dengan urusan pemerintahan, setiap Menteri
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan (Pasal 4 ayat 1). Kementerian Koperasi dan
UKM RI merupakan Kementerian di kelompok ketiga yaitu urusan pemerintahan dalam
rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah (Pasal 4 ayat
2, huruf C), berkaitan dengan urusan pemerintahan bidang Koperasi, Usaha Kecil
dan Menengah (Pasal 5 ayat 3).
Undang-Undang telah memberi amanat terhadap pemerintah
untuk mengembangkan UMKM. Dalam UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM disebutkan
peran pemerintah antara lain:
a. Bersama Pemerintah Daerah
melaksanakan pengawasan dan pengendalian kesempatan berusaha (Pasal 13).
b. Bersama
Pemerintah Daerah melaksanakan kegiatan promosi dagang (Pasal 14, ayat2).
c. Bersama
Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang produksi dan
pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, dan desain dan teknologi (Pasal 16
ayat 1).
d. Menyusun
Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pengembangan, prioritas, intensitas,
dan jangka waktu pengembangan usaha dimaksud (Pasal 16 ayat 3).
e. Bersama
dengan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil
(Pasal 2l). Dalam hal ini Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan dunia usaha dapat
memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber
pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil(Pasal
2l ayat4).
f. Memberikan
insentif datam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana
prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesual dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha
Mikro dan Kecil (Pasal 21 ayat 5).
g. Meningkatkan
sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil (Pasal 22).
h. Bersama
Pemerintah Daerah, meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap sumber
pembiayaan (Pasal 23 ayat 1).
i. Bersama
dengan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Usaha Menengah dalam bidang
pembiayaan dan penjaminan (Pasal 24).
j. Bersama
Pemerintah Daerah, dunia usaha dan masyarakat memfasilitasi, mendukung, dan
menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling membutuhkan, mempercayai,
memperkuat, dan menguntungkan (Pasal 25 ayat 1). Kemitraan antar Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah dan Kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
dengan Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan
pengolahan, pemasaran, permodalan, sumberdaya manusia, dan teknologi (Pasal 25
ayat 2).
k. Menteri
Koperasi dan UKM dan Menteri teknis lain mengatur pemberian insentif kepada
Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga
kerja, pengunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (Pasal 25 ayat 3).
l. Menteri
Koperasi dan UKM dapat membentuk lembaga koordinasi kemitraan usaha nasional
dan daerah untuk memantau pelaksanaan kemitraan (Pasal 34).
m. Melarang Usaha Besar memiliki
dan/atau menguasai Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah sebagai mitra usahanya
dalam pelaksanaan hubungan kemitraan (Pasal 35).
n. Melarang
Usaha Menengah memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil
mitra usahanya(Pasal 35).
o. Menteri Koperasi dan UKM
melaksanakan koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (Pasal 38 ayat 1).
p. Mengatur dan menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang tata cara pemberian sanksi administratif pelaggaran UU Nomor
20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Pasal 39 ayat 3).
Sehubungan dengan amanat Undang-Undang, pemerintah
melaksanakan berbagai program yang bertujuan untuk memberdayakan UMKM. Program
tersebut antara lain adalah program Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) dan
pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Gerakan Kewirausahaan Nasional bertujuan memiliki
tujuan sebagai berikut:
a. Meningkatkan
semangat dan jiwa kewirausahaan bagi masyarakat, khususnya generasi muda, untuk
menjadi wirausaha yang mandiri handal dan tangguh, serta memiliki daya saing.
b. Memotivasi
agar tumbuh wirausaha baru kreatif, inovatif dan berwawasan global.
c. Mampu
melakukan interaksi melalui tukar menukar informasi dan peningkatan kerjasama
di segala sektor.
d. Meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan berwirausaha khusus bagi wirausaha baru.
e. Mendorong
tumbuh dan berkembangnya usaha koperasi dan UMKM yang dilakukan oleh para
pelaku wirausaha.
f. Mengekspose
dan memberikan inspirasi atas keberhasilan wirausaha dari dalam dan luar negeri
dan diharapkan dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya wirausaha baru.
Sedangkan KUR yang dilaksanakan sejak tahun 2007 dan
bekerja sama dengan bank nasional
penyalur KUR sebanyak 7 bank yaitu Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank
Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Bukopin,
Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah).
Hasil pelaksanaan pada tahun 2012 yaitu penyaluran
Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp.34,2 triliun untuk lebih dari 1,9 juta
debitur, dengan rata-rata kredit/pembiayaan sebesar Rp.17,5 juta. Volume
penyaluran KUR tersebut telah melampaui target tahun 2012 sebesar Rp.30
triliun. Tingkat non-performing loan (NPL) KUR pada tahun 2012 cukup rendah
yaitu 3,6 persen. Sebagian besar KUR disalurkan ke sektor perdagangan (37,5
persen), sektor pertanian dan perikanan (17,1 persen), dan sektor perdagangan
terintegrasi dengan sektor hulu (14,2 persen).
Realisasi sebaran KUR dari tahun 2007 sampai 2013
menyebutkan bahwa Bank BRI adalah penyalur KUR terbesar dengan total plafond
mencapai Rp. 79,9 triliun. Selain sektor ritel BRI juga menyalurkan KUR di
sektor mikro yang masing-masing plafondnya sebesar Rp. 16,03 triliun dan Rp.
63,9 triliun, debiturnya 94.710 UMK dan 8.650.164 UMK, rata-rata kredit Rp.
169,3 juta/debitur dan Rp. 7,4 juta/debitur, serta NPL penyaluran masing-masing
3,4% dan 1,9%. Menduduki peringkat kedua yaitu Bank Bank Mandiri dengan
total plafond sebesar Rp. 12,6 triliun, debiturnya sebanyak 250.032 UMK, dengan
rata-rata kredit Rp. 50,4 juta/debitur serta nilai NPL sebesar 4,3%. Di
urutan ketiga adalah BNI dengan total plafond sebesar Rp. 12,11 triliun,
debiturnya sebanyak 184.805 UMK, dengan rata-rata kredit Rp. 65,5 juta/debitur
serta nilai NPL sebesar 4,1%.
Selanjutnya berturut-turut yaitu BTN dengan plafond
Rp. 4,1 triliun, BSM dengan plafond Rp. 3,4 triliun, Bank Bukopin dengan
plafond 1,75 triliun dan BNI Syariah dengan plafond Rp. 142.876 miliar. Secara
keseluruhan, nilai Non Performing Loan (NPL) penyaluran KUR oleh bank
pelaksana ini masih dibawah 5% yaitu sebesar 3,4%. Bank BTN merupakan Bank
Pelaksana dengan nilai NPL terbesar dalam penyaluran KUR yaitu sebesar 9,5% dan
BRI Mikro dengan NPL terkecil yaitu 1,9%. Diharapkan pada periode-periode
berikutnya nilai NPL pada bank yang masih di atas 5% bisa turun sehingga
penyalurannya lebih tepat sasaran.
Pada tahun 2012, pemerintah juga melakukan
pendampingan bagi 27.520 calon debitur KUR dan sosialisasi KUR di 33 provinsi. Melalui
program tersebut diharapkan penerima KUR dapat mempergunakan KUR untuk
pengembangan usaha dan membuat UMKM menjadi lebih berdaya karena tambahan modal
tersebut.
D.Strategi Pemberdayaan UMKM di
Indonesia mengahadapi Pasar Bebas ASEAN
Belum
kokohnya fundamental perekonomian Indonesia saat ini, mendorong pemerintah
untuk terus memberdayakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sektor ini
mampu menyerap tenaga kerja cukup besar dan memberi peluang bagi UMKM untuk
berkembang dan bersaing dengan perusahaan yang lebih cenderung menggunakan
modal besar (capital intensive). Eksistensi UMKM memang tidak dapat
diragukan lagi karena terbukti mampu bertahan dan menjadi roda penggerak
ekonomi, terutama pasca krisis ekonomi. Disisi lain, UMKM juga menghadapi
banyak sekali permasalahan, yaitu terbatasnya modal kerja, Sumber Daya Manusia
yang rendah, dan minimnya penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi
(Sudaryanto dan Hanim, 2002). Kendala lain yang dihadapi UMKM adalah
keterkaitan dengan prospek usaha yang kurang jelas serta perencanaan, visi dan
misi yang belum mantap. Hal ini terjadi karena umumnya UMKM bersifat income
gathering yaitu menaikkan pendapatan, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
merupakan usaha milik keluarga, menggunakan teknologi yang masih relatif
sederhana, kurang memiliki akses permodalan (bankable), dan tidak ada
pemisahan modal usaha dengan kebutuhan pribadi.
Pemberdayaan
UMKM di tengah arus globalisasi dan tingginya persaingan membuat UMKM harus
mampu mengadapai tantangan global, seperti meningkatkan inovasi produk dan
jasa, pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, serta perluasan area
pemasaran. Hal ini perlu dilakukan untuk menambah nilai jual UMKM itu sendiri,
utamanya agar dapat bersaing dengan produk-produk asing yang kian membanjiri
sentra industri dan manufaktur di Indonesia, mengingat UMKM adalah sektor
ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia (Sudaryanto,
2011).
Pada
tahun 2011 UMKM mampu berandil besar terhadap penerimaan negara dengan
menyumbang 61,9 persen pemasukan produk domestik bruto (PDB) melalui pembayaran
pajak, yang diuraikan sebagai berikut : sektor usaha mikro menyumbang 36,28
persen PDB, sektor usaha kecil 10,9 persen, dan sektor usaha menengah 14,7
persen melalui pembayaran pajak. Sementara itu, sektor usaha besar hanya
menyumbang 38,1 persen PDB melalui pembayaran pajak (BPS, 2011).
Sebagian
besar (hampir 99 persen), UMKM di Indonesia adalah usaha mikro di sektor
informal dan pada umumnya menggunakan bahan baku lokal dengan pasar lokal.
Itulah sebabnya tidak terpengaruh secara langsung oleh krisis global. Laporan World
Economic Forum (WEF) 2010 menempatkan pasar Indonesia pada ranking ke-15.
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai pasar yang potensial bagi negara
lain. Potensi ini yang belum dimanfaatkan oleh UMKM secara maksimal.
Perkembangan
UMKM di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai persoalan sehingga menyebabkan
lemahnya daya saing terhadap produk impor. Persoalan utama yang dihadapi UMKM,
antara lain keterbatasan infrastruktur dan akses pemerintah terkait dengan
perizinan dan birokrasi serta tingginya tingkat pungutan. Dengan segala
persoalan yang ada, potensi UMKM yang besar itu menjadi terhambat. Meskipun
UMKM dikatakan mampu bertahan dari adanya krisis global namun pada kenyataannya
permasalahan-permasalahan yang dihadapi sangat banyak dan lebih berat. Hal itu
dikarenakan selain dipengaruhi secara tidak langsung krisis global tadi, UMKM
harus pula menghadapi persoalan domestik yang tidak kunjung terselesaikan
seperti masalah upah buruh, ketenagakerjaan dan pungutan liar, korupsi dan
lain-lain.
Permasalahan
lain yang dihadapi UMKM, yaitu adanya liberalisasi perdagangan, seperti
pemberlakuan ASEAN- China Free Trade Area (ACFTA) yang secara efektif telah
berlaku tahun 2010. Di sisi lain, Pemerintah telah menyepakati perjanjian kerja
sama ACFTA ataupun perjanjian lainnya, namun tanpa mempertimbangkan terlebih
dahulu kesiapan UMKM agar mampu bersaing. Sebagai contoh kesiapan kualitas
produk, harga yang kurang bersaing, kesiapan pasar dan kurang jelasnya peta
produk impor sehingga positioning persaingan lebih jelas. Kondisi ini
akan lebih berat dihadapi UMKM Indonesia pada saat diberlakukannya ASEAN
Community yang direncanakan tahun 2015. Apabila kondisi ini dibiarkan, UMKM
yang disebut mampu bertahan hidup dan tahan banting pada akhirnya akan bangkrut
juga. Oleh karena itu, dalam upaya memperkuat UMKM sebagai fundamental ekonomi
nasional, perlu kiranya diciptakan iklim investasi domestik yang kondusif dalam
upaya penguatan pasar dalam negeri agar UMKM dapat menjadi penyangga (buffer)
perekonomian nasional.
Masalah
lain yang dihadapi dan sekaligus menjadi kelemahan UMKM adalah kurangnya akses
informasi, khususnya informasi pasar (Ishak, 2005). Hal tersebut menjadi
kendala dalam hal memasarkan produk-produknya, karena dengan terbatasnya akses
informasi pasar yang mengakibatkan rendahnya orientasi pasar dan lemahnya daya
saing di tingkat global. Miskinnya informasi mengenai pasar tersebut,
menjadikan UMKM tidak dapat mengarahkan pengembangan usahanya secara jelas dan
fokus, sehingga perkembangannya mengalami stagnasi.
Kemampuan
UMKM dalam menghadapi terpaan arus persaingan global memang perlu dipikirkan
lebih lanjut agar tetap mampu bertahan demi kestabilan perekonomian Indonesia.
Selain itu faktor sumber daya manusia di dalamnya juga memiliki andil
tersendiri. Strategi pengembangan UMKM untuk tetap bertahan dapat dilakukan
dengan peningkatan daya saing dan pengembangan sumber daya manusianya agar
memiliki nilai dan mampu bertahan menghadapi pasar ACFTA, diantaranya melalui
penyaluran perkreditan (KUR), penyediaan akses informasi pemasaran, pelatihan
lembaga keuangan mikro melalui capacity building, dan pengembangan information
technology (IT).
Demikian
juga upaya-upaya lainnya dapat dilakukan melalui kampanye cinta produk dalam
negeri serta memberikan suntikan pendanaan pada lembaga keuangan mikro.
Keuangan mikro telah menjadi suatu wacana global yang diyakini oleh banyak
pihak menjadi metode untuk mengatasi kemiskinan (ref). Berbagai lembaga
multilateral dan bilateral mengembangkan keuangan mikro dalam berbagai program
kerjasama. Pemerintah di beberapa negara berkembang juga telah mencoba
mengembangkan keuangan mikro pada berbagai program pembangunan. Lembaga swadaya
masyarakat juga tidak ketinggalan untuk turut berperan dalam aplikasi keuangan
mikro (Prabowo dan Wardoyo, 2003).
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
UMKM sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia
telah terbukti mampu menjaga stabilitas ekonomi disaat krisis terjadi.
Keberadaan UMKM di Indonesia yang jumlahnya mencapai 99,99% dari total usaha di
Indonesia telah menyerap 97,30% tenaga kerja di Indonesia. Keberadaan UMKM juga
memberikan kontribusi sebesar 57,12% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Namun UMKM juga memiliki berbagai hambatan dalam hal
pengelolaan usahanya. Masalah utama yang dihadapi oleh UMKM adalah permodalan.
Menyusul masalah lain adalah pengelolaan yang kurang profesional, kesulitan
dalam persaingan usaha yang pesat, rendahnya tingkat inovasi pelaku UMKM,
kebijakan pemerintah yang kurang pro UMKM, bahan baku sukar diperoleh, pasar
yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit.
Untuk mengatasi hambatan tersebut, peran pemerintah
sangat diharapkan. Undang-Undang telah memberi amanat kepada pemerintah untuk
mengembangkan dan memberdayakan UMKM.
Sinergi antra pemerintah pusat dan daerah juga harus diperhatikan guna
menumbuhkembangkan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku UMKM.
Beberapa program telah dilakukan pemerintah untuk
melaksanakan amanat Undang-Undang. Program GKN dan pemberian KUR mencadi contoh
peran pemerintah dalam upaya untuk menghasilkan UMKM yang berdaya dan mampu
bersaing dengan usaha lain.
B.Saran
Pemberdayaan UMKM perlu disinkronkan dengan kebijakan kementrian lain agar
tidak mengganggu iklim usaha yang kondusif. Pemerintah juga harus memperbanyak
lagi kerjasama dengan pihak lain dalam upaya untuk memberdayakan UMKM.s
DAFTAR PUSTAKA
http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/m/edef-konten-view- mobile.asp?id=20131231220022813872431
http://studyandlearningnow.blogspot.com/2013/01/pengertian-umkm-dan-koperasi.html
Kementerian UMKM dan
Koperasi, Rencana Strategis 2009-2014
Kementerian UMKM dan
Koperasi, Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2014 Bidang Pemberdayaan UMKM dan
Koperasi.
UU No 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Kecil Mikro Dan
Menengah
UU No 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil
Kementerian Koperasi dan UMKM, data UMKM dan UB tahun
2006-2010.
http://www.pustaka.ut.ac.id/dev25/pdfprosiding2/fisip201240.pdf
http://yohkandjoek.blogspot.co.id/2014/10/peranan-pemerintah-dalam-pemberdayaan.html
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapussaya khawatir ketika saya akan membeli rumah saya dengan nilai kredit buruk saya. saya ditolak pinjaman dari bank saya dan tidak bisa mendapatkannya. Saya menjelaskan kepada seorang teman, dia kemudian memperkenalkan saya kepada pria terhebat sepanjang masa pedro jerome. saya menjelaskan masalah saya kepadanya dengan mengirim teks ke suratnya dan dia membantu saya menyelesaikan semuanya dalam waktu 3 hari kerja. dia memberi saya pinjaman 400,000.00 euro untuk membayar rumah saya di mana saya juga digunakan untuk mengembangkan bisnis saya juga. semoga Tuhan memberkatinya! Anda dapat mengajukan pinjaman cepat dari mr pedro jerome yang bekerja dengan sekelompok investor .. dia penyihir yang dibicarakan semua orang di seluruh internet .. hubungi dia melalui surat di mr pedro pedroloanss@gmail.com. nomor whatsapp: +18632310632.
BalasHapus